Apa yang ditawarkan oleh sebuah cerita, selain kabar dari tempat-tempat yang berbeda dan waktu-waktu yang berlainan? Bagi saya sudah sangat pasti: sebuah percakapan. Cerita dalam bentuk cerita pendek maupun novel, bahkan dalam bentuk laporan jurnalistik, surat, catatan perjalanan, senantiasa membawa kabar dari ruang yang lain. Kabar tersebut bisa jadi berupa laporan pandangan mata, bisa jadi sesederhana paparan sebuah gagasan, dan di lain waktu, ia berupa ekspresi perasaan sang penulis. Dalam titik ini kita menangkap kesan satu komunikasi satu arah. Satu pihak melaporkan atau menyampaikan sesuatu, dan pihak lain menerimanya. Setidaknya dalam cerita pendek maupun novel sesungguhnya tidak berlaku demikian. Membaca cerita pendek atau novel, kita bisa membayangkan satu percakapan intim antara penulis dan pembaca, dan percakapan ini memberi kita akibat yang sangat penting: bahwa dalam satu cerita, mungkin saja terdapat setidaknya dua narasi yang berbeda. Narasi yang ditulis dan narasi yang terbaca, yang berjalan beriringan tanpa kehendak untuk mengubur yang lainnya. Bahwa kebenaran, kesimpulan, kata akhir, atau apa pun istilahnya, tak harus bersifat tunggal.
Seorang penulis seperti Umar Kayam tak hanya seorang pendongeng yang melaporkan satu keping peristiwa kepada pembacanya, tapi jauh lebih penting adalah seorang teman bicara. Teman ngobrol.
Bayangkan para pendongeng-pendongeng tradisional di masyarakat kita. Perempuan tua yang duduk di beranda rumah dan dikelilingi gadis-gadis muda, barangkali sambil mencari kutu di rambut rekannya satu sama lain. Kita tahu di masyarakat tradisional, kisah-kisah dituturkan melalui perempuan tua semacam ini. Ia yang mengetahui sejarah leluhur orang-orang desa, nama-nama tempat beserta mitos-mitos yang menyertainya. Kita tahu melalui dongeng-dongeng semacam itu, nilai-nilai pedesaan dilestarikan dari satu generasi ke generasi, demikian pula rasa bangga, haru, ketakutan, kecemasan, kebijaksanaan disampaikan. Akan tetapi, pada saat yang sama, selalu ada ruang bagi para pendengarnya untuk menyelinap ke dalam cerita. Bertanya, membantah, atau meminta si pendongeng melipir menceritakan hal lain. Dalam peristiwa mendongeng semacam ini, kita menemukan si pendongeng tak lebih sebagai teman bicara.
Di warung kopi atau di pos ronda, atau di tempat jagongan, atau di mana pun ketika orang-orang memiliki kesempatan untuk berkumpul, kita menemukan sesuatu yang jauh lebih jelas lagi. Di sini, sang pendongeng biasanya tidak seorang diri, meskipun selalu ada kemungkinan satu atau dua orang menjadi sosok menonjol, barangkali karena kemampuan bicara dan berceritanya maupun keluasan pengetahuan dan pengalamannya melebihi yang lain. Umumnya, pendongeng ganti-berganti di antara anggota kelompok ini. Satu orang bisa jadi berkisah mengenai pertemuannya dengan binatang buas ketika berladang, orang lain mengiyakan dan ia ganti bercerita dari sudut pandangnya mengenai peristiwa yang sama. Orang ketiga lalu membantah bahwa binatang buas itu tak semembahayakan yang mereka kira, sebab ia sendiri telah berjumpa dengan binatang tersebut di waktu yang berbeda. Mereka merupakan para pendongeng, dan pendongeng alamiah bagi saya merupakan teman ngobrol yang membuka ruang percakapan.
Saya memikirkan para pendongeng-pendongeng tradisional semacam ini ketika mengingat nama Umar Kayam. Kesan itu akan terasa ketika kita membaca cerpen-cerpennya, bahkan ketika membaca kolom-kolomnya sekali pun, di mana saya memperoleh kemewahan semacam itu ketika masih tinggal di Yogyakarta dan membaca koran lokal di mana ia menulis, dari mana saya sejujurnya pertama kali mengenalnya sebagai penulis.
***
Di masyarakat urban dan modern, masihkah orang membutuhkan percakapan dan mencari teman ngobrol? Saya yakin kita masih membutuhkannya. Tak hanya membutuhkannya, bahkan tanpa sadar kita terus melakukannya, sebab itu menjadi satu bagian tak terpisahkan dari kemanusiaan kita.
Saya sering memikirkan mengapa koran-koran di Indonesia, setidaknya di puncak kejayaan mereka sebelum digerogoti oleh revolusi dunia maya, cerita pendek dihadirkan? Tak cuma mereka menerbitkan cerita pendek di halamannya, biasanya di akhir pekan, tapi bisa dibilang juga dalam beberapa dekade, kesusastraan Indonesia didorong dan dihidupi oleh koran-koran ini, baik nasional maupun lokal. Untuk menjawabnya, kita harus melihat sejenak kepada karakteristik berita di koran-koran itu, yang secara langsung kita bicara mengenai jurnalisme secara umum. Seperti cerita rekaan dalam bentuk cerpen atau novel, kita tahu berita juga menyampaikan kabar. Dalam hal ini tak ada bedanya. Ia juga menawarkan percakapan, mungkin tak seintim cerpen atau novel, antara wartawan dan pembacanya. Akan tetap dalam berita, kita dibatasi oleh fakta-fakta yang demikian kaku, yang tak bisa diubah seenak hati. Jika fakta itu salah, berita bisa memperbaikinya sendiri, melalui berita yang lain. Intinya, narasi dengan dua bahan atau lebih yang berbeda rasanya menjadi tidak mungkin. Percakapan menjadi tertatih-tatih.
Koran, sebagaimana buku, merupakan produk masyarakat modern, hasil dari revolusi mesin cetak. Ia jelas berbeda dengan cara kerja para pendongeng tradisional, yang bisa disanggah oleh pendengarnya di pertengahan cerita. Meskipun begitu, bukan berarti hasrat untuk bercakap-cakap, untuk menemukan teman ngobrol lantas menghilang begitu saja. Demikianlah saya kira, kenapa di surat kabar, kita tak hanya menemukan cerita dalam makna berita, tetapi juga ada ruang-ruang untuk pembaca berkomentar. Ada ruang bagi suara yang lain dalam bentuk kolom, dan akhirnya bahkan ada ruang untuk cerita pendek. Ini hal menarik sebab melalui cerita pendek, kita bisa menghidupkan percakapan yang mungkin tak diberikan berita. Ia tak selalu memedulikan fakta, ia bahkan bisa tak memedulikan realita. Ia bisa mengawang-awang, bisa menjungkir-balikkan apa yang ditulis di berita bahkan di hari yang sama. Itu membuat koran, dan masyarakat pembacanya, berada dalam ruang percakapan yang luas.
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat urban, kita masih melihat manusia terus bercakap-cakap. Di ruang tunggu dokter gigi, mereka akan saling menyapa meskipun tak saling kenal, dimulai dengan basa-basi tentang keadaan gigi mereka, kemudian tentang cuaca, hingga sesuatu yang lebih serius mengenai kesehatan dan bahkan politik. Demikian pula kita melihat orang bercakap-cakap di kafe, di muka bioskop. Bahkan di layar televisi, acara bercakap-cakap yang merupakan acara paling murah dalam skala produksi penyiaran, merupakan program acara yang umum. Mereka bercakap-cakap tentang pernikahan dan perceraian selebritas, mereka bercakap tentang kebijakan pemerintah, mereka bercakap tentang tuntutan dan tutunan beragama, mereka bahkan bercakap tentang pertandingan sepakbola di negeri yang jauh.
Dan di ruang-ruang pribadi kita juga bercakap-cakap. Tak hanya di Jakarta, misalnya, tapi juga di ruang-ruang pribadi di satu apartemen di Manhattan, New York. Bisa saja mereka mempercakapkan hal yang sama juga seperti di layar televisi, bisa juga sesuatu hal yang lebih pribadi. Tentang mantan suami atau istri yang menunggu di rumah. Atau bahkan tentang hal konyol seperti warna bulan di langit dan kelap-kelip lampu dari jendela gedung-gedung pencakar langit. Segala hal dipercakapkan, sebab manusia tetap dan akan selalu membutuhkan hal ini.
***
Dalam cerpen-cerpen Umar Kayam kita bisa melihat bahkan percakapan-percakapan itu demikian nyata. Ia tak hanya mengajak kita, pembacanya, untuk bercakap-cakap, tapi juga mengajak dan membiarkan tokoh-tokohnya juga bercakap-cakap. Kita bisa melihat atau merasakan betapa gentingnya kebutuhan mereka untuk melakukan perbincangan, penuh hasrat untuk menemukan teman ngobrol, dan kita ada untuk memberikan diri sendiri sebagai pendengar sekaligus menciptakan narasi sendiri melalui cerita mereka.
Percakapan ini tak hanya menyiratkan keberadaan hubungan sosial antara satu manusia dengan manusia lain, tapi juga mewakili begitu banyak hal.
Dalam percakapan antara Marno dan Jane, kita tahu itu tak semata-mata menyiratkan hubungan di antara mereka, tapi juga menyangkut istri Marno dan Tommy, mantan suami Jane. Percakapan tak hanya merujuk kepada orang-orang yang melakukan percakapan, tetapi juga apa dan siapa yang mereka percakapkan. Tak hanya itu juga, percakapan juga membawa atau mengungkapkan emosi dan pikiran tertentu. Rasa sentimental kepada masa lalu, rasa sesal maupun harapan, dan pada saat yang sama, juga menyiratkan sesuatu yang tak terkatakan, yang menuntut pembaca untuk mengisinya, mengajaknya menjadi bagian dari percakapan tersebut. Teman ngobrol yang lain. Jadi bagi Jane, ia membutuhkan Marno tak hanya sebagai teman di mana percakapan bisa terjadi (demikian pula sebaliknya), yang tak kalah penting adalah kebutuhan untuk mengeluarkan sesuatu di dalam dirinya. Sesuatu yang harus dikatakan, bahkan tanpa perlu menimbang akibat-akibatnya. Bisa jadi mengatakan sesuatu bisa membuat percakapan menjadi menyenangkan, bisa pula berakhir menjadi percakapan yang dingin dan berakhir dengan perpisahan yang hambar sebagaimana terjadi pada Jane dan Marno. Sesuatu harus dikeluarkan dan dibutuhkan seseorang untuk mendengarkan, meskipun untuk itu tak hanya diperlukan kata-kata, tapi juga scotch dan martini.
Bayangkan tentang sepasang suami istri yang meninggalkan negerinya dan terdampar di kota sibuk macam New York. Sang suami sibuk dengan tugas-tugas kuliahnya sementara si istri hanya menunggui anak di rumah, tanpa kesibukan lainnya. Ia bisa saja mengisi waktu dengan berjalan-jalan ke taman, memasak, atau tidur, tapi kebutuhan untuk memiliki teman ngobrol jelas sesuatu yang tak terelakkan untuk sebagian besar orang. Manusia bisa menghadapi tembok-tembok menjulang, sekat-sekat bernama dinding dan pintu, lorong-lorong kosong, tapi ketiadaan percakapan saya kira merupakan dinding tebal dan lorong kosong sekaligus, yang lebih mengimpit dan menciutkan. Dalam keadaan begitu sangatlah wajar menemukan seseorang mengetuk pintu rumah tetangga, seperti menyapa orang asing di jalan, bahkan dengan mencari-cari alasan sesepele meminjam beberapa sendok gula, hanya agar memperoleh teman ngobrol. Tak penting apa yang akan diperbincangkan, yang terpenting menemukan seseorang terlebih dahulu, dan selebihnya bisa mengeluarkan apa yang harus dikeluarkan dari dalam kepalanya.
Demikianlah kita bisa bertemu dengan manusia macam Madame Schlitz. Ia memang punya seekor anjing peliharaan kepada siapa ia bisa bicara, tapi kepada manusia ia tak hanya bicara, tapi juga mendengar, dan menciptakan percakapan. Bahkan meskipun apa yang dikatakannya, cerita yang disampaikannya, hanya dianggap bualan atau kegilaan.
***
Hasrat untuk menyampaikan sesuatu jelas bukan satu-satunya alasan manusia melakukan percakapan. Tak kalah penting adalah kebutuhan untuk memenuhi rasa ingin tahu, keinginan untuk membuka tabir misteri. Dalam kerumunan orang di masyarakat tradisional di mana seorang pendongeng menyampaikan kisahnya, orang-orang itu jelas menunggu dan mendengar dengan perasaan ingin tahu. Kisah apa yang akan disampaikan? Apa yang terjadi di tempat lain atau di masa lampau? Apa yang telah dilihat dan dialami sang pendongeng? Apa pula pendapatnya tentang hal-hal yang dilihat dan dialaminya itu? Perasaan ingin tahu pada akhirnya akan mendorong seseorang untuk bertanya, dan pertanyaan barangkali akan memperoleh tanggapan, demikianlah sebuah cerita sekali lagi merupakan percakapan.
Di masyarakat modern dan urban, tentu saja hal ini juga berlaku. Kita membaca koran setiap pagi (atau di masa sekarang, membuka lini masa di dunia maya) karena kita juga didorong oleh rasa ingin tahu mengenai apa yang tengah terjadi, atau bagaimana kelanjutan dari peristiwa yang telah terjadi. Hal ini juga berlaku kepada siapa pun yang membaca cerita pendek atau novel. Ia ingin tahu, seperti istri si mahasiswa yang terperangkap di kota sibuk New York yang bagaikan raksasa tak pernah kenyang ingin tahu siapa Madame Schiltz, kenapa ia bernama seperti itu, kenapa ia tinggal sendiri, dan kenapa ia tiba-tiba menghilang.
Kita bisa bicara tentang rasa ingin tahu sebagai ciri khas yang sangat manusiawi, yang membawa manusia ke berbagai peradaban, yang membuat manusia menciptakan atau menemukan berbagai hal. Tanpa rasa ingin tahu kita hanya akan menjadi pendengar yang pasif, yang tidak peduli, dan teman bicara kita hanya akan menyampaikan sejenis monolog yang tak ada gunanya, sebab ia hanya mengalir dan mungkin memuaskan hasrat si penceritanya saja tanpa imbal balik yang semestinya. Tanpa rasa ingin tahu, cerpen maupun novel tak akan ada yang membaca, sebagaimana koran, majalah atau apa pun yang tercetak. Kita hanya memandang deretan huruf-huruf, dan huruf-huruf itu tak lebih dari kontras warna dan bentuk saja.
Tentu saja rasa ingin tahu tak harus selalu melekat kepada hal-hal besar, terhadap penemuan-penemuan dan kabar penting maupun genting dari satu tempat dan satu masa. Kita ingin tahu bagaimana seorang kakek bisa memperoleh kuda-kudaan putih dari seorang anak di taman bermain. Apakah ia akan merebutnya? Apakah ia akan membujuknya? Jika ia membujuknya, dengan cara apa ia akan melakukannya? Apakah si anak bisa dibujuk hingga merelakan kuda-kudaan putihnya kepada si kakek? Lagi pula kenapa si kakek masih mau bermain kuda-kudaan yang seharusnya menjadi permainan anak-anak? Kita ingin tahu, betapa sepele pun hal itu, atau tak ada artinya bagi hidup kita atau hidup masyarakat secara umum, dan semata-mata hanya karena ingin tahu. Didorong hal itu kita membaca kisah kakek ini, dan tirai-tirai samar pun terkuak. Kita mungkin tak akan menemukan jawaban yang kita inginkan, tapi apa pedulinya? Dalam hidup kita, satu misteri seringkali membawa kita ke misteri yang lain, dan manusia tak berhenti memenuhi rasa ingin tahunya. Sebab dengan cara seperti itulah manusia terus berbincang, dan pada saat yang sama peradaban terus-menerus diciptakan.
***
Kita bisa melipir sejenak kepada cerpen Umar Kayam yang lain, “Bawuk” yang tak terdapat di kumpulan ini.
Bawuk bisa kita anggap sebagai contoh yang baik dari seorang pendongeng, sebagai teman ngobrol. Bahkan sejak kecil, ketika mereka bersama-sama pergi ke sekolah menaiki dokar, Bawuk merupakan orang yang menghidupkan percakapan di antara dirinya dan kakak-kakaknya. Ia yang bertanya, yang pertanyaannya menuntut tanggapan hingga ia mengerti, dan jika ia tidak bertanya, ia akan menyampaikan ceritanya sendiri, segala pengalaman di kelasnya. Ia sosok lain dari perempuan tua yang duduk di teras rumah mengisahkan legenda-legenda desa, atau seorang musafir yang membagikan pengalamannya di warung kopi yang disinggahinya. Hidupnya berputar tak hanya oleh gerak tubuh dan perilaku, tapi oleh kata-kata yang dikatakan dan didengarnya.
Bahkan ketika ia menulis, dalam hal ini surat-surat yang dikirimkan ke ibunya setelah menikah dan pergi, menunjukkan dirinya sebagai si teman ngobrol. Sebagaimana kesaksian ibunya, Bawuk merupakan perempuan yang “murah dengan kata-kata”. Surat-suratnya tak hanya berisi kabar, cerita yang ingin disampaikan olehnya kepada yang kelak akan membaca suratnya, tapi juga dihiasi cerita-cerita tambahan yang kadang tak ada perlu dan kepentingannya, segala omong-kosong yang tak ada sangkut-pautnya dengan inti surat. Tapi bukankah begitu obrolan di warung kopi, sebagaimana kita tahu demikian pula obrolan-obrolan di tempat lain. Bawuk sangat sadar bahwa bercerita, ngobrol, tak melulu menyampaikan sesuatu (dalam hal ini kabar), tapi juga usaha untuk memikat pembacanya, teman ngobrolnya. Dalam obrolan di warung kopi atau pendongeng tradisional, upaya memikat itu bisa dibantu oleh gerak tubuh, intonasi suara, ekspresi wajah, bahkan alat peraga lain, selain inti kisahnya sendiri. Namun dalam kisah yang dituliskan, si pendongeng atau teman ngobrol, semata-mata harus mengandalkan kepada susunan kata-katanya dan apa yang bisa disampaikannya. Bawuk memilih nada yang riang, yang membuat ibunya terpikat untuk membaca dan menjadi teman ngobrol. Juga melakukannya dengan cerita-cerita sampiran, tentang tetangga, makanan, dan jajanan.
Maka ketika Bawuk mengirimkan surat yang sangat pendek, terdiri dari hanya tiga kalimat dan kalimat-kalimat itu juga pendek, daya pikatnya sebagai sebagai pendongeng lenyap. Ia meninggalkan ruang yang lebar, gerowong yang tak dikenali, yang disebut ibunya tak hanya sebagai “aneh” tapi juga “asing”. Ya, tentu saja ini meninggalkan misteri, dan misteri membawa kita kepada rasa ingin tahu yang menganga. Rasa ingin tahu ini meminta untuk dipuaskan, dengan kata lain, ia meminta Bawuk untuk kembali menjadi teman ngobrol sesungguhnya. Kita tahu, ketika ia akhirnya datang ke rumah ibunya sebagaimana dijanjikan di surat yang sangat pendek tersebut, ia akan ditagih untuk bercerita. Untuk menuntaskan rasa ingin tahu. Untuk mengembalikan Bawuk sebagai teman ngobrol, sang pendongeng.
Melalui Bawuk, kita tahu kata-kata dan cerita yang dibawakannya memiliki kekuatan daya pikat, sejenis sihir yang mengisap perhatian orang. Percakapan merupakan sejenis upaya untuk saling memikat di antara para pelakunya, dan jika daya pikat ini tidak ada, gugur pula biasanya percakapan tersebut. Dan ketika cerita menghilang, daya pikat melemah, yang tersisa hanyalah misteri yang meminta dibongkar dan dikuak. Tanpa cerita, kita hanya melihat pertunjukan wayang dengan lampu-lampu yang dipadamkan dan sosok-sosok wayang dimasukkan ke dalam kotak. Sebuah pertanda bahwa orang harus pulang, kembali ke dunia kenyataan sehari-hari.
***
Saya baru saja bicara tentang pertunjukan yang usai dan orang kembali ke kehidupan hariannya, semata-mata untuk mengingatkan bahwa cerita merupakan dunia lain. Ketika kita bertemu seseorang dan percakapan membuat kita menjadi seorang pendongeng, pada dasarnya kita tengah menciptakan sebuah dunia yang lain. Dunia lain ini bisa saja dunia rekaan seperti di kisah-kisah tragedi Yunani, dunia rekaan tempat peri, jin, dedemit bisa hidup, atau para pahlawan ajaib bertarung di negeri antah-berantah. Sekaligus bisa saja dunia lain itu adalah dunia yang benar-benar ada, di tempat dan waktu yang berbeda, dibawa oleh si pendongeng ke hadapan kita melalui cerita.
Riverside Park di New York pada satu ketika yang gerimis mungkin benar-benar kejadian sebagaimana dilihat si narator “Mistuh”, sebagaimana peristiwa pencopetan yang dilakukan seorang Negro atas seorang perempuan yang cuma terdengar suaranya meneriakkan “Heeeeelp! Heeeelp!”. Tapi ketika itu datang kepada kita melalui kisah yang disampaikan Umar Kayam, kita sadar itu dunia yang lain. Dunia yang diciptakan secara bersama-sama oleh penulis dan pembacanya. Dunia hasil sebuah percakapan. Pada saat yang sama, meskipun dunia yang terbentuk dari percakapan penulis dan pembaca ini semu belaka, tapi juga kita bisa bersepakat bahwa itu merujuk ke sebuah dunia yang nyata, bahkan meskipun jauh dari akurat.
Dalam cerita “There Goes Tatum” ini, kita tengok sejenak ketika si “Mistuh” ini sedang melintasi taman hendak pergi ke kampus dan dihadang seorang Negro yang awalnya menampilkan diri sebagai gembel pengemis (setidaknya begitulah yang tergambar oleh saya sebagai pembaca dari percakapan mereka). Si gembel pengemis hanya meminta lima puluh sen, yang konon bisa untuk membeli sepotong hero-sandwich salami. Kita tahu pertemuan mahasiswa dan gembel itu adalah rekaan sang penulis, bahkan meskipun peristiwa itu mungkin pernah terjadi atas satu tokoh mahasiswa atau lainnya. Pembaca mereka ulang bagaimana “Mistuh” berdialog dengan si gembel, memperlihatkan recehan tapi tidak langsung memberikannya, untuk sedikit mempermainkannya. Bahkan ketika si gembel pengemis ternyata tak hanya mengemis, tapi dengan gaya yang sopan namun penuh ancaman ternyata juga seorang perampok, kita masih bisa mendengar percakapan mereka. Kita membayangkan semua itu dalam dunia yang abstrak, tapi pada saat yang sama kita bisa memahami sensasinya sebagaimana itu bisa terjadi di dunia nyata. Termasuk bisa memahami stereotip ras, juga tentang pendapat mengenai ketidakmampuan orang Amerika membuat jam tangan.
Demikianlah saya kira manusia, melalui percakapan, melalui cerita pendek atau novel, sanggup mereka dunia yang abstrak, tapi pada saat yang sama terus terhubung dengan kenyataan. Dunia abstrak itu bisa sebuah peristiwa, bisa pula gagasan-gagasan yang rumit. Melalui cerita kita bisa memahami bagaimana peristiwa di masa lalu bisa diungkapkan sesederhana sebagai pembagian nasi bungkus untuk demonstran, misalnya. Tentu saja ada banyak penyederhanaan, bagaimanapun cerita bukanlah dunia yang sebenarnya, tapi pada saat yang sama dengan cara itulah manusia mencoba memahami dunia. Saya tak tahu apakah binatang memiliki kemampuan semacam itu, apakah mereka bergelut dengan bahasa yang pasti tidak kita pahami, tapi yang jelas manusia mampu melakukannya. Manusia menjalani pengalaman atau mendengar orang menjalani pengalaman, lalu menceritakan pengalaman itu dengan satu dan lain cara. Cerita itu bisa saja demikian dekat dengan keseharian si pencerita dan pendengar, tapi bisa pula demikian mengawang-awang tanpa juntrungannya, tapi kita tetap bisa menerimanya, meski dengan penerimaan yang berbeda-beda. Itulah kenapa manusia bisa bercakap-cakap dan bercerita. Karena dengan cara itulah kita menghadirkan kembali dunia yang tidak bisa dihadirkan, karena jarak maupun waktu, atau lainnya.
***
Membaca cerpen-cerpen Umar Kayam, sekali lagi kita berjumpa dengan teman berbincang. Dan sebagaimana perbincangan, kita barangkali hanya berenang di permukaan dan terombang-ambing ke sana-kemari, terhanyut oleh arus yang pelan sekali pun. Ia seperti bunyi “klik” si gembel pengemis di Riverside Park dari pisau yang tengah dicobanya pada janggutnya, suatu suara dan tindakan ringan tapi memberi pesan yang jauh berbeda dari apa yang terlihat.
Seperti obrolan, kadang kita benar-benar terhanyut oleh si juru dongeng hingga kita tak lagi bisa mengingat dari mana sebuah cerita berawal dan akan dibawa kemana, tapi seringkali pula kita dibuat terhenyak dan memikirkan berbagai kedalaman dari dongeng yang sekilas tampak ngalor-ngidul. Tentu diperlukan perbincangan yang intim antara pihak-pihak yang terlibat obrolan, sebagaimana hubungan yang intim antara penulis dan pembaca melalui cerita, untuk membuka berbagai kemungkinan yang ada, yang tak tersurat dalam kata-kata. Kita mungkin menemukan berbagai cabang cerita yang tak terjelajahi, yang dalam percakapan sehari-hari, barangkali akan menuntun kita untuk bertanya.
Cerpen-cerpen Umar Kayam memiliki begitu banyak jebakan-jebakan cecabang cerita semacam itu, jalan-jalan setapak yang tak terjelajahi yang kemudian menjelma misteri yang merangsang rasa ingin tahu pembaca. Lubang-lubang misteri itu bisa jadi ada hubungannya dengan psikologi manusia, sebagaimana saya bertanya-tanya apa yang ada di pikiran Marno ketika meninggalkan Jane. Bisa pula itu berupa pandangan dunia. Ruang-ruang pertanyaan itu membuktikan bahwa rasa ingin tahu kita tak pernah mati, dan sebaiknya memang tak pernah mati hingga kita akan terus-menerus mencari teman ngobrol, dan para pendongeng dilahirkan dari satu generasi ke generasi lain.
Ada hal-hal yang saya yakin jauh lebih menarik ketika kita membicarakan cerpen-cerpen ini (kita tahu, satu obrolan akan menghasilkan obrolan lain). Ada aspek-aspek filosofis, psikologi, budaya maupun sosial-politik yang melingkupi cerpen-cerpennya, dan tentu saja memerlukan tempat dan obrolan tersendiri untuk membedah dan mengulitinya. Namun menempatkan Umar Kayam dan cerpen-cerpennya dalam bingkai pembicaraan mengenai pendongeng sebagai seorang teman ngobrol saya rasa sama pentingnya untuk ditengok. Demikian pula menempatkan cerpen-cerpennya tak semata-semata sebagai alat untuk menyampaikan kabar, tapi terutama untuk menyentuh pembacanya.
Terutama di masa ketika budaya “ngobrol” memperoleh momentumnya kembali saat ini, dengan ledakan dunia digital. Cerita bukan lagi semata-mata tentang apa yang disampaikan, tetapi bagaimana cerita itu bisa menyentuh, baik secara emosi maupun keyakinan. Tradisi berbincang jelas setua peradaban manusia itu sendiri, kita hanya seringkali terkejut melihat kemunculannya yang demikian terang-benderang. Namun seharusnya itu tak perlu dianggap mencengangkan sama sekali, jika saja kita bersedia melihat para penulis atau pendongeng, melalui cerita mereka, sebagai teman ngobrol.
Kita butuh dan selalu mencari sosok semacam itu, kita hanya berharap keberuntungan membawa kita ke teman ngobrol yang menyenangkan di mana pun. Mungkin seperti “Mistuh” berjumpa dengan si gembel pengemis sekaligus perampok. Hubungan mereka timpang, antara seseorang yang mengancam dan diancam, yang merampok dan dirampok. Tapi bahkan mereka bisa menciptakan obrolan yang menyenangkan, bukan?
Jakarta, 2018
Eka Kurniawan