Menulis adalah cara saya bermeditasi. Tiada satu hari pun yang sanggup saya pikul dan jalani jika saya tidak menulis. Menulis adalah cara saya bertahan hidup. saya amat menghargai aliran gagasan dan kata-kata yang dapat dituangkan, sebab saya merasa kata-kata itu bukanlah milik saya sepenuhnya. Kata-kata itu berasal dari dunia, dari manusia lainnya yang menghidupinya, yang kemudian menginspirasi saya. Pada satu sisi, kata-kata ini muncul dari pikiran saya, tetapi pikiran saya tidak pernah seorang diri, saya selalu terhubung dengan dunia ini. Dalam pengertian lain, tulisan-tulisan ini bukan saja barisan kata-kata tentang dunia, namun bagi saya, inilah dunia yang saya hayati dan cintai.
Kumpulan esai di dalam buku ini saya tulis dalam berbagai latar belakang cerita maupun proses. Proses itu termasuk penelitian-penelitian yang telah saya lakukan semenjak lima tahun terakhir. Saya berupaya mengulas temuan-temuan penelitian, khususnya dalam bidang budaya dan lingkungan hidup secara filosofis. Meski ada komponen teoritis di dalam tulisan-tulisan ini, saya tidak ingin menjajarkannya begitu saja seperti data yang kering dan dingin. Melampaui itu, saya ingin bercerita, secara perlahan saya ingin menisik potongan-potongan fakta hingga penafsiran ke dalam untaian cerita itu.
Esai “Sembhayang Bhuvana” sejatinya ditulis untuk Pidato Kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta. Naskah pidato yang dihasilkan adalah hasil diskusi-diskusi panjang yang saya lakukan dengan para anggota komite DKJ, khususnya Ibu Adinda Luthvianti selama kurang lebih dua bulan. Judul “Sembhayang Bhuvana” sangat dipengaruhi oleh monism Benedict Spinoza, saya menafsirkan ulang kata sembah kepada hyang. Sembah dalam konteks ini tidak saja berarti pemujaan, namun kesadaran terhadap relasi ketersalingan yang tidak terpecah-pecah antara saya dan alam. Segalanya adalah alam, begitu pula manusia yang merupakan bagian dari alam. Saya berkesempatan bicara tentang ekofeminisme, Sad Darshana, Teluk Benoa, dan dusun Geriana Kauh di Karangasem. Hal-hal yang sangat dekat di hati saya, yang berarti bagi hidup saya. Betapa gugupnya saya ketika membacakan pidato ini, saya teringat suami saya memutarkan lagu “Don’t Stop Me Now” oleh Queen di ruang tunggu. Selepas itu sambil menunggu di sisi panggung, saya membaca kutipan sloka dari Taittirya Upanisad yang tertulis di naskah, “—aham visvam bhuvanam abhyabhavam. Suvarna jyotih.”
Esai saya yang berjudul “Filsafat Samudra”, “Alam Melalui Seni”, dan “Tari dan Tubuh Politis” adalah wujud eksperimentasi saya menggunakan metode fenomenologi. Menggunakan metode fenomenologi, saya berupaya menguak persoalan-persoalan terkait krisis lingkugan hidup, represi terhadap tubuh, dan juga disrupsi teknologis beserta segala konsekuensi terhadap subjek. Fenomenologi sebagai metode memungkinkan saya menghadirkan diri saya sebagai peneliti sekaligus subjek yang mengalami suatu fenomena beserta segala impresi, rasa, kepekaan seorang manusia. Fenomenologi mendorong proses rigoris, namun secara serempak tidak meninggalkan aspek pengalaman yang unik bagi setiap orang. Fenomenologi juga adalah metode untuk berpikir kritis melalui pengalaman individual dengan dunianya.
Ketika menulis “Teknik dan Magi” juga “Tubuh Di Ambang Suka dan Dukha”, saya membayangkan bahwa penelusuran filsafat adalah eksplorasi yang ekletik. Berkat korespondensi dengan Federico Campagna, seorang filsuf asal Italia, saya mendapatkan ide-ide baru khususnya dalam mengimajinasikan realitas. Dalam memaknai realitas, segala pandangan yang cenderung dualistis: teknik dan magi, tubuh dan jiwa, objektif dan subjektif, segala posisi antinomi ini perlu ditantang. Saya selalu menikmati pembahasan tentang tubuh dan erotika. Dalam tulisan “Tubuh Di Ambang Suka dan Dukha”, saya mencoba menampilkan gagasan tentang tubuh dari aliran hedonis India, yakni Carvaka. Esai ini pun dalam semangat untuk mengkritik kebiasaan memilah antara tubuh dan jiwa, atau menempatkan tubuh seolah-olah lebih rendah dari jiwa.
Tulisan saya yang berjudul “Seni Dalam Lipatan Pandemi” saya tuliskan semasa pembatasan sosial secara ketat diberlakukan. Tulisan itu tidak mudah untuk disusun, sebab saya sendiri merasa terbata-bata untuk memahami wabah yang tengah dihadapi. Tulisan itu juga adalah naskah pidato Dies Natalis Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ke-50. Saat membacakan pidato tersebut, saya menahan air mata, sebab betapa menyedihkannya untuk berpidato di dalam ruang studio yang kosong. Kampus IKJ sepi dari hiruk pikuk mahasiswa. Segalanya hening, tidak seperti keramaian perayaan hari jadi kampus yang lazimnya dilakukan sebelum pandemi ini terjadi. Sebelum siaran langsung pidato itu, saya sempat bertemu dengan Pak Seno Gumira Ajidarma, rektor IKJ kala itu. Komentarnya singkat dari balik masker yang menutupi separuh wajahnya, “sedih.”
Saya dedikasikan tulisan “Seni Dalam Lipatan Pandemi” untuk Dr. Ratih Purwarini, yang sempat menjadi mahasiswi saya di Program Studi Kajian Gender UI, yang kemudian menjadi sahabat berdiskusi khususnya tentang isu-isu keadilan gender. Ia didiagnosis positif Covid-19 lalu meninggal dunia pada tanggal 31 Maret 2020. Ia seorang dokter yang baik, selalu peduli dan mendahulukan orang lain dibandingkan dirinya. Ia aktif menjadi relawan di Komnas Perempuan dan memberikan pendampingan untuk para perempuan korban kekerasan seksual. Saya terbantu menghadapi hari-hari tergelap dalam menghadapi pandemi ini melalui tulisan. Saat disergap kekalutan kehilangan orang-orang yang dicintai, saya mencoba mengarahkan perasaan itu ke dalam tulisan.
Sebagai penutup, tidak luput saya ingin mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang saya kasihi. Kepada suami dan keluarga saya, juga Sanur, Chibo, Jiwo, dan Kiki yang setia menemani saya menulis. Para sahabat di kampus yang berkenan membaca tulisan dan bertukar pikiran tentang filsafat, para kolega di Departemen Filsafat UI, Komafil UI (Viva Philosophia!) Khususnya kepada Bapak Tommy F. Awuy yang bersabar hati mendengarkan ocehan saya tentang filsafat. Terakhir, kepada Mas Eka Putra dari Penerbit Pocer dan editor buku ini, Mas Taufiqurrahman yang telah teliti dan sepenuh hati memperhatikan tulisan-tulisan ini.
Akhir kata, kepada para pembaca matur suksma, dan selamat membaca.
Saras Dewi