Memahami sejarah untuk menata masa depan yang lebih baik adalah sebuah tindakan sadar dan strategis yang perlu dilakukan oleh sebuah bangsa yang berkehendak maju dalam peradaban. Namun, langkah memahami sejarah secara utuh merupakan sebuah tantangan tersendiri. Hal ini terutama mengingat sejarah lebih kerap hadir sepotong, dengan muatan yang tak absen dari kepentingan kuasa. Dalam narasi sejarah, pengalaman kelompok yang lebih sub ordinat atau marginal jarang tampil, kecuali sebagaimana diinginkan oleh penguasa. Termasuk di dalamnya adalah pengalaman perempuan, yang kerap sublim dalam “pengalaman bersama” atau narasi utama peristiwa sejarah.
Kisah Bu Utati yang tertuang dalam Onak dan Tari di Bukit Duri adalah salah satu ajakan untuk menyikapi tantangan itu. Bukan saja atas peristiwa politik 1965 yang hingga kini masih menjadi polemik dan dampaknya pada kehidupan dari sosok-sosok yang dituduh terafiliasi denganPartai Komunis Indonesia (PKI) yang disebut-sebut sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kematian para Pahlawan Revolusi; dampak dalam kondisi kehidupan mereka di dalam tahanan maupun saat telah diperbolehkan kembali di tengah masyarakat. Perkenalan pada sosok Bu Utati secara intim, menjajaki latar belakang keluarga dan perjalanannya sejak dari kecil, memberikan kesempatan untuk “mengintip” kehidupan sampai masa kolonial Belanda dan juga sejumlah aspek perjalanan kehidupan berbangsa kita yang terasa relevan hingga saat ini.
Misalnya saja tentang solidaritas terhadap sesama teman. Penggalan ingatan Bu Utati mengingatkan pentingnya bermain bagi kaum anak sebagai media untuk membangun kebersamaan dan kesetiakawanan. Bermain adalah barang mewah di hari ini, apalagi di tengah pandemi Covid-19 di mana berkumpul dan bermobilitas menjadi terbatas. Juga, perkembangan waktu mengakibatkan perubahan pola interaksi sosial, lengkap dengan semakin berkurangnya ruang terbuka dan “[s]ituasi saat itu berbeda dengan saat ini, karena boleh dibilang belum terdengar kasus perdagangan anak, penculikan atau pun sejenisnya,” yang memungkinkan anak-anak bergerak di luar rumah dengan lebih leluasa.
Melalui kepiawaiannya, Magdalena yang kita kenal kiprahnya dalam upaya pemajuan hak-hak perempuan menulis dengan subtil kisah Bu Utati sedari awal yang memantik kita untuk bertanya secara reflektif tentang posisi perempuan di dalam masyarakat. Misalnya saja, dalam menggambarkan kondisi Mbah Kakung yang berusia 100 tahun, dituliskan bahwa “[a]gar tidak menimbulkan pemikiran yang negatif, anak gadis tersebut dinikahkan dengan Mbah kakung dan memiliki dua orang anak. Akan berbeda bila yang hidup sampai 100 tahun Mbah Uti (nenek), pastinya tidak akan dinikahkan.” Begitu juga dengan pola asuh ibunda dari Bu Utati, yang berpendapat bahwa “Pekerjaan domestik hanya pantas dilakukan oleh perempuan karena dianggap sebagai kodrat perempuan.” Selain itu, keinginan Bu Utati untuk pendidikan harus menghadapi kenyataan karena “[b]iaya pendidikan lebih diutamakan bagi yang berjenis kelamin laki-laki. Utati sedih, ia belum paham kesetaraan gender namun ia adalah anak yang patuh pada orang tua karena yang diputuskan oleh orang tua baginya adalah yang terbaik.” Sementara dalam catatan tentang keluarga dari suami Ibu Utati disebutkan, “Pak Toer memiliki bakat menulis yang menurun pada semua anak-anaknya, terlebih pada kelima anak laki-lakinya. Tiga anak perempuan tidak terlalu mengembangkan bakat, dengan segala kesibukan sebagai ibu rumah tangga.” Kondisi-kondisi perempuan yang dideskripsikan itu pun masih sering kita temui di saat ini.
Karena konstruksi di dalam masyarakat membedakan perempuan dan laki-laki, pengalaman perempuan akan berbeda dengan laki-laki sekalipun berada dalam peristiwa yang serupa. Apalagi, ketika narasi tentang peristiwa tersebut memang telah dibumbui dengan menggunakan konstruksi berbasis gender itu sendiri. Dalam narasi peristiwa politik 1965, salah satu elemen pentingnya adalah tentang peran Gerwani. Meski tidak ada bukti berdasarkan visum, gambaran perempuan amoral yang melakukan penyiksaan seksual berulang kali disampaikan kepada publik lintas generasi melalui tulisan juga visualisasi. Upaya untuk menatah gambaran ini dilakukan melalui pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dan juga cara bertanya, termasuk dalam berbagai bentuk penyiksaan, kepada tahanan perempuan dan membiarkan narasi tuduhan pada korban salah tangkap bergulir. Bahkan, kisah ini seolah ingin dihidupkan dalam gambaran tentang tahanan perempuan yang berusaha melarikan diri dalam kondisi bertelanjang. Stigma tentang Gerwani hingga kini masih menghantui gerakan perempuan Indonesia, dan dalam pemantauan Komnas Perempuan kerap ditemukan sebagai cara untuk mengintimidasi perempuan pembela HAM agar menghentikan aktivismenya.
Perbedaan pengalaman perempuan dan laki-laki juga tampak dalam keseharian sebagai tahanan. Ancaman dan tindak kekerasan seksual menjadi salah satu ciri yang khas. Dalam salah satu bagian dituliskan bahwa “[m]engantisipasi segala kemungkinan pencitraan yang tidak baik di mata para penjaga laki-laki, umumnya para penghuni menggunakan celana panjang atau baju yang cukup panjang.” Belum lagi kisah tahanan perempuan terkait dengan fungsi reproduksi dan peran pengasuhan. Bahkan pembedaan ini sampai kepada akses informasi dimana disebutkan “Ia tidak tahu sama sekali, Rutan Bukit Duri tidak diperkenankan menerima kiriman majalah atau bacaan apa pun seperti di Rutan Salemba.” Meski dibahas sekilas, kisah dari pengalaman Bu Utati juga mengingatkan kerentanan berlapis yang dihadapi perempuan dari latar belakang sosialnya yang beragam, termasuk dalam posisi sebagai istri atau anak perempuan, usia lanjut ataukah remaja. Juga, dari kelompok etnis dan agama tertentu.
Dengan stigma Gerwani dan eks-tahanan politik, kehidupan pascatahanan juga tak gampang. Opsi untuk berpasangan terasa terbatas di lingkar yang memiliki pengalaman serupa. Untuk mengurangi potensi seluruh keluarga mengalami diskriminasi, ada yang perlu atau disituasikan untuk menyembunyikan pengalamannya itu, termasuk dengan membatasi pergaulan dengan sesama mantan tahanan. Stigma itu pula yang menyebabkan terbatasnya opsi mencari pekerjaan, tempat tinggal, atau pun akses pada program-program jaminan sosial dari pemerintah. Seluruh rangkaian pengalaman perempuan tahanan politik 1965 maupun keluarga, seperti juga yang dapat kita simak dalam buku ini kemudian menjadi dasar bagi Komnas Perempuan (2007) menyimpulkan indikasi telah terjadi persekusi berbasis gender sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, di mana:
“Persekusi terhadap perempuan yang dituduh menjadi anggota atau berafiliasi dengan Gerwani dan kelompok politik lainnya terjadi pada saat Peristiwa 1965 berkecamuk dan berlanjut sampai dengan sekarang, dengan tetap berlakunya peraturan-peraturan dan perlakuan diskriminatif yang mengingkari hak-hak dasar korban. Kampanye kekerasan yang disasarkan pada korban perempuan mempunyai karakteristik seksual dan antiperempuan.”
Sementara itu, di tengah masyarakat yang lebih mengutamakan laki-laki, perempuan dilatih untuk menjadi penyintas yang tangguh. Kesan ini kuat saya tangkap dari kisah tentang ibunda Bu Utati dalam menghadapi kondisi perkawinannya, termasuk saat suaminya meninggal dunia ketika anak-anaknya masih berusia sangat muda. Juga, dari sosok Bu Utati yang mengejar kesempatan untuk maju dengan merantau, memperjuangkan kesempatan belajar di tengah keterbatasan, dan mengupayakan untuk mandiri sambil juga terus mengembangkan bakat keseniannya. Ketangguhan ini terlebih lagi tampak pada konteks perempuan tahanan politik 1965 di mana mereka harus menghadapi penahanan sewenang-wenang dan berada di dalam tahanan untuk jangka waktu yang tidak jelas dan dalam kondisi yang serba terbatas. Ketangguhan ini saling mereka tularkan dan kuatkan, misalnya saja dengan bergotong royong mencari jalan keluar dari keterbatasan pangan, tempat tidur, sandang, alat sanitasi, dan juga dera psikologis melalui kegiatan seni budaya dan keagamaan. Ketangguhan yang menjadi modal penting dalam menghadapi tantangan yang juga tak gampang setelah tahanan perempuan diperbolehkan keluar dari penjara.
Alhasil, kisah Bu Utati dalam Onak dan Tari di Bukit Duri adalah kisah inspiratif perjuangan penyintas dari kondisi keterpurukan yang berlapis sebagai perempuan dan sebagai tahanan politik, serta dalam berbagai keterbatasan lainnya terkait stigma mantan tapol. Juga menegaskan kembali konsep personal is political, bahwa pengalaman personal bukanlah hadir di ruang vakum melainkan juga menjadi rentang hasil dan konsekuensi dari pertarungan kuasa di berbagai aras. Karenanya, keterpurukan ini dapat kita koreksi di masa kini agar kondisi serupa itu tidak lagi berulang di masa mendatang. Koreksi yang dibutuhkan demi setiap cita kemanusian yang kita hendak wujudkan, yaitu kondisi di mana kekerasan dan diskriminasi atas dasar apa pun dapat kita hapuskan. Akhir kata, apresiasi dan terima kasih kepada Bu Utati yang memperkenankan kisah kehidupannya menjadi milik bersama sebagai sumber inspirasi keteguhan dalam berju-ang. Juga, kepada Magda, yang atas ketekunannya, kisah Bu Utati dapat hadir di tengah kita. Semoga buku ini juga menjadi inspirasi bagi para perempuan penyintas dalam berbagai konteks lainnya bergerak untuk mendokumentasikan dan mempublikasikan pengalamannya, sebagai bahan pembelajaran bersama menata masa depan yang lebih berperikemanusiaan dan perikeadilan.
Jakarta, 26 September 2021
Andy Yentriyani
Ketua Komnas Perempuan