Ada keresahan tak berujung setiap kali kita dihadapkan pada peringkat literasi anak-anak Indonesia dalam peta literasi dunia. Apa yang salah pada masyarakat kita? Apakah kita sebagai bangsa memang tidak punya catatan sejarah sebagai bangsa yang literat? Ataukah cara pandang kita tentang literasi yang perlu direvisi? Literasi sebagai kompetensi ataukah sebagai praktik sosial dalam kehidupan sehari-hari?
Sebagai seorang yang lebih akrab dengan pendekatan interpretivist, saya meyakini makna yang kedua, yakni literasi sebagai praktik sosial. Pendekatan New Literacy Studies inilah yang mendasari penulisan buku Suara dari Marjin (2017) yang saya tulis bersama dengan mbak Sofie Dewayani. Meskipun demikian, buku kami berdua barangkali tidak akan cukup kuat hentakannya tanpa kehadiran resensi buku yang meyakinkan pembaca. Di sinilah peran seorang Lukman Solihin menjadi penting. Resensi Mas Lukman tentang buku kami dimuat di Kompas, 23 Desember 2017. Membaca resensi tersebut, saat itu juga saya yakin bahwa Mas Lukman adalah orang yang tepat untuk diajak bersama menggeluti literasi dengan cara pandang yang berbeda. Dengan demikian, ketika saat ini Mas Lukman meminta saya untuk menulis kata pengantar untuk buku ini, saya sebenarnya harus berterima kasih atas upayanya membantu meletakkan dasar konsep literasi dengan metode etnografis.
Jangan terkecoh membaca judul buku ini, Gemar Membaca, Terampil Menulis. Lukman Solihin tidak hendak menyuguhkan tips dan strategi agar Anda gemar membaca dan lebih terampil menulis. Lukman mengajak kita untuk merunut sejarah bangsa kita ihwal perjalanan proyek literasi. Barangkali penulis ingin Anda menemukan jawaban atas pertanyaan, “apakah bangsa kita ini bangsa yang literat?”
Media sering membuat kita resah akan potret literasi kita. Bisa jadi memang betul. Bila literasi sebagai seperangkat kompetensi, seolah-olah Indonesia sama sekali tidak memiliki jejak literasi. Pertanyaan ini dapat dieksplorasi lebih mendalam melalui pendekatan etnografis yang sarat dengan narasi orang-orang yang terlibat dalam aktivisme literasi.
Di sinilah kekuatan buku Gemar Membaca, Terampil Menulis. Buku ini menawarkan salah satu jawaban kerisauan kita akan kehadiran literasi dalam sejarah bangsa. Bab kedua yang merunut akar aktivisme literasi menjadi salah satu kekuatan dari buku ini. Ini bagian yang saya suka karena menjawab banyak pertanyaan yang selama ini saya renungkan, tapi belum punya daya untuk mencari sumber informasi dan menghimpunnya. Dalam catatan riset yang berhasil dihimpun Lukman, ternyata literasi yang bermakna, memberdayakan, menguatkan, dan mengubah wajah kehidupan berbangsa Indonesia tidaklah terjadi di ruang-ruang kelas. Literasi berdenyut tanpa formalitas melalui berbagai upaya, dari yang berorientasi bisnis sampingan sampai semangat kesukarelawanan, mulai persewaan komik yang sempat nge-trend di tahun 1980-90-an sampai komunitas-komunitas TBM. Tentu saja praktik-praktik literasi yang terjadi di komunitas seperti ini luput dari pengukuran kompetensi literasi.
Catatan penting dan layak digaris-bawahi adalah telaah detil tentang aktivisme 2 (dua) komunitas literasi—Indonesia Boekoe dan Rumah Dunia—di Bab III (Teladan dari Dua Komunitas). Analisis tentang dua komunitas ini juga menegaskan hasil riset saya tentang komunitas buruh migran di Hong Kong (dan juga Taiwan) yang terlibat dalam aktivisme komunitas TBM. Dengan segala keterbatasan ruang dan waktu, para buruh migran yang mengelola perpustakaan koper mampu menciptakan fungsi komunitas TBM mereka sebagai “hub literasi”. Sebagaimana perpustakaan koper oleh buruh migran, Iboekoe dan Rumah Dunia mengembangkan fungsi dan perannya sebagai “hub literasi”, di mana TBM tidak hanya menjadi tempat membaca dan pinjam buku, tapi lebih luas lagi sebagai tempat di mana dialog-dialog bernas dan kritis dapat terjadi di ruang publik. Meminjam ide Habermas, partisipasi masyarakat demokratis dapat terjadi di ranah publik. Teks-teks sebagai penanda artefak budaya juga dihasilkan dari partisipasi publik, dan di sinilah peran komunitas literasi menjadi sentral dalam gerakan literasi nasional.
Saya harus jujur bahwa sejatinya, saya dan Mbak Sofie sudah cukup lama berangan-angan menulis lanjutan buku Suara dari Marjin. Kami berdua menyimpan gagasan menulis tentang keterlibatan aktif komunitas literasi dalam mendukung Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Salah satu kegiatan yang didorong untuk dikembangkan di sekolah adalah membaca ekstensif (extensive reading) sebagai bagian dari kegiatan 15 menit membaca setiap hari. Dalam konsep membaca ekstensif, membaca adalah kegiatan untuk kesenangan. Dalam praktiknya, kegiatan 15 menit membaca sering kali memberikan beban tagihan kepada siswa.
Dalam angan-angan saya, komunitas literasi yang mungkin sering dianggap sebelah mata justru berpotensi menyumbang keberhasilan bagi GLS. Kegiatan membaca di komunitas literasi yang dilakoni anak-anak usia sekolah adalah kegiatan yang dilakukan tanpa beban tagihan. Komunitas literasi menjadi oase bagi masyarakat yang haus bacaan dan butuh ruang bebas untuk berekspresi. Ketika saya masih berangan-angan, seorang Lukman Solihin sudah merealisasikannya. Buku yang Anda pegang ini adalah buktinya.
Dalam geliat literasi yang semakin dinamis di tanah air kita, masih belum banyak buku yang dapat dijadikan rujukan akademis dengan gaya populer. Selama tiga tahun terakhir saya mencoba mencari buku yang pas sebagai tambahan referensi perkuliahan di mata kuliah Literacy in Education yang saya ampu di Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya. Buku Gemar Membaca, Terampil Menulis hadir di saat yang tepat. Dengan bahasa yang enak diikuti, buku ini layak menjadi salah satu referensi bagi pengajar, peneliti, mahasiswa, dan para aktivis literasi. Saya amat gembira telah menemukan buku yang lama saya cari.
Pratiwi Retnaningdyah
Pengajar sastra dan literasi di Universitas Negeri Surabaya
Anggota Satgas GLS Kemdikbud