Lompat ke konten

Empat Setengah Jam di Punika

Bang Nezar Patria, menceritakan kembali hal-hal di balik tulisan yang menjadi salah satu yang paling sering diingat: Sejarah Mati di Kampung Kami. Ditulis delapan belas tahun lalu, saat ia masih wartawan muda. Saat itu, ia ditugaskan meliput kampung halaman pasca tsunami. Suasana dan aroma yang dirasakan di kampung halaman, melahirkan salah satu tulisan yang sangat personal dan kuat. “Kata teman-teman, artikel itu kerap menjadi salah satu contoh beberapa kelas menulis features. Saya merasa tersanjung”, katanya.

Ia mengatakan artikel itu cukup berkesan baginya. Selain mendapat nilai yang baik di media tempatnya bekerja, Majalah Tempo, artikel itu juga ditulisnya dengan emosional di tengah situasi mega bencana. Kalimatnya pendek-pendek, seperti irama staccato. “Saya suka baca novel Steinbeck, mungkin ada pengaruhnya,” katanya.


Bang Nezar Patria, menceritakan kembali hal-hal di balik tulisan yang menjadi salah satu yang paling sering diingat: Sejarah Mati di Kampung Kami. Ditulis delapan belas tahun lalu, saat ia masih wartawan muda. Saat itu, ia ditugaskan meliput kampung halaman pasca tsunami. Suasana dan aroma yang dirasakan di kampung halaman, melahirkan salah satu tulisan yang sangat personal dan kuat. “Kata teman-teman, artikel itu kerap menjadi salah satu contoh beberapa kelas menulis features. Saya merasa tersanjung”, katanya.

Kedai belum terlalu ramai. Kami membuat janji pukul 18.30 di Punika. Hari minggu menjelang makan malam. Setelah saling bertanya kabar dan berbincang sana sini, kami ke agenda utama. Memeriksa dumy buku. Mengoreksi yang mungkin terlewat. Draft ini, menunggu hampir tiga tahun. Setidaknya sejak awal mula digagas.

Sejak mula diperlihatkan beberapa tulisan semisal Yang Berganti Seperti Musim, Perginya Sang Wali Terakhir, Sejarah Mati di Kampung Kami. Kami jatuh suka. Narasi yang padat, puitik, dan mengalir.

Namun keyakinan yang kian menguatkan untuk harus membukukan, justru saat ia menulis Sirop di laman media sosial. Bagaimana bisa dari adegan sebotol sirop yang hendak dibuat oleh kakaknya pada hari lebaran, melemparkannya pada ingatan masa lalu dan membuatnya hampir menuliskan obituari sebotol sirop. Komplit dengan sejarah, silsilah keluarga, bahkan peristiwa lain di sekitarnya.

Seingatku, aku pernah mengobrolkan juga sama Eka Kurniawan. Kami berbincang tentang hal-hal masa kecil yang telah lewat dan kami rindukan. Salah satunya makanan atau minuman. Sirop itu, salah satunya.” Sekali lagi ia mengisahkan bagaimana tulisan itu bermula. Dengan nada gembira. Seperti membayangkan aroma raspberry yang memikat pada warna merah sirop.

Ia mengaku menulis dengan spontan. Terutama di media sosial. Melihat sesuatu atau teringat sesuatu, kemudian menuliskannya. Dengan gadget. Sekali tulis. Jika nanti ada yang perlu direvisi, bisa menyusul. Biasanya hal minor.

Kami menyukai cara Bang Nezar membuat judul. Berima dan metafor. Sepotong Jalan Bertabur Azab, Koloni Derita di Limau Manis, Bulan di Atas Kuba, atau Di Kuil Penyiksaan Orde Baru adalah beberapa di antaranya. Juga bagaimana ia membentuk kalimat. Semacam: Di mesin faksimili, sehimpun abjad di kertas itu berlari menerabas jarak. Atau, malam mulai menyentuh pesisir dan perahu itu menggunting ombak selat malaka.

Barangkali karena ia juga menyukai puisi. Bahkan menulis puisi.

Setelah setahun terakhir intens korespondensi, naskah ini hampir siap untuk terbit. Layak ditunggu. Enak dibaca dan perlu

Yogyakarta, 13 Maret 2023

Sign up for our email newsletter