6 Oktober 2022 – Cuaca cukup bersahabat sore itu. Dan orang-orang mulai berdatangan. Mengisi absensi-mengambil booklet-memesan minum-memilih tepat duduk.
Beberapa haha hihi ketika bertemu kawan yang dikenal. @megangkaki dan @hartmantyoo sudah tiba sejak setengah tiga. Mereka melihat kami kebingungan menyiapkan proyektor. Sembari membaca dan membuat catatan-catatan kecil untuk disampaikan.
Mbak @alia.swastika tiba kemudian. Menemui kami yang sedang duduk ngobrol bareng mas @hairus9. Setelah saling sapa sana sini, kami memberi kode diskusi akan dimulai. Video “Bagaimana Saya?” diputar untuk memperkenalkan proses kreatif mbak Alia. Untuk selanjutnya diambil alih Mega dengan mempertanyakan titik pijak narasi yang dibuat oleh mbak Alia dalam tulisan-tulisannya.
Mbk Alia menjadikan sejarah sebagai salah satu titik pijak-juga bingkai kuratorialnya. Buku yang akan dibahas, memang berisi catatan-catatan proses kerja mbak Alia bersama seniman-seniman yang membicarakan sejarah dalam kompleksitasnya. Tio, bahkan perlu membuat ulasan sepanjang 22 halaman untuk mempertanyakan dan mengoreksi wacana kolonial yang diwariskan kepada kita.
Diskusi berjalan menarik-dan sesekali lucu. Hampir 40 peserta hadir. Beberapa bertanya tentang posisi kurator perempuan, eksotisme, tema feminis dalam seni rupa, dekolonialisasi, termasuk bagaimana mbak Alia yang bukan dari “pendidikan seni” malah menjadi seorang kurator dan banyak menulis seni.
Terimakasih teman-teman yang sudah hadir. Juga @bawabuku dan @arkacoffee.space untuk kolab ruangnya. Sampai jumpa di pertemuan offline lainnya 😊🙏🏻