Mengurai Sejarah Konflik Maluku Utara
Resensi “Jangan Percaya Surat Palsu” oleh Linda Christanty
Buku “Jangan Percaya Surat Palsu: Laporan Jurnalistik tentang Konflik di Maluku Utara, Bahasa, dan Kura-Kura” karya Linda Christanty merupakan catatan perjalanan dan liputannya menguak tabir kebenaran di Provinsi Maluku Utara. Sebuah daerah yang pernah mengalami konflik berdarah dan menimbulkan banyak korban, tapi masih jarang dibahas secara serius. Dalam buku ini, Linda secara berdedikasi menguak ketidakadilan yang berlangsung lama di tanah Maluku Utara. Dia juga menyuarakan suara-suara dari pinggiran yang sering tak mendapat tempat.
Perjalanan buku ini diawali dari program yang diikuti oleh Linda dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa), yang mengirim penulis ke daerah tertinggal, terdepan, dan terluar pada tahun 2016. Dua tahun kemudian, dengan hibah dari Wikimedia Indonesia, Linda melanjutkan penelitiannya. Dalam menulis buku Linda pergi ke Halmahera, Maluku Utara, dan melakukan wawancara dengan banyak orang dari orang biasa hingga para Sultan. Dia menulis berbagai kesaksian dari para korban/penyintas dari sumber pertama yang diukur melalaui bagaimana peristiwa berjalan, bagaimana dampaknya, dan bagaimana migrasinya.
Di Maluku Utara, dia menemukan berbagai masalah sosial yang terjadi, seperti sejarah berdarah akibat konflik sengketa tanah yang ditopengi oleh konflik antarpemeluk agama; kerusakan alam dan lingkungan; kekerasan yang terjadi para perempuan dan anak; penulisan sejarah yang keliru; hingga hilangnya sebuah bahasa lokal karena penuturnya tinggal satu atau dua orang. Meski begitu, Linda tak melulu bercerita terkait konflik, tetapi juga berbagai cerita yang bisa membantu meredakan konflik melalui keterikatan sosial, budaya, dan persaudaraan yang memang telah berlangsung selama ratusan tahun.
Secara umum, buku ini terdiri dari lima bab. Pada Bab 1, “Hari-Hari Observasi: Dari Rumah Tenggelam hingga Nuri Berkepala Merah”, menceritakan terkait sebuah kecamatan di Halmahera Barat bernama Jailolo beserta dengan kondisi masyarakat, sosial, lingkungan, kesehatan, kebijakan pemerintah, hingga isu konservasi di sana. Linda menulis, lalat telah menjadi maskot di Jailolo, di mana banyak lalat-lalat militan dengan sampah-sampah yang berserakan di samping pekarangan. Dalam bab ini, Linda juga menyelipkan cerita-cerita yang khas diary, seperti bagaimana dia membersihkan hotel yang kebersihannya kurang dengan dia meminjam sapu, emper, dan kain pel. Perjalanannya menemui narasumber di sebuah kafe yang menyetel lagu Bee Gees, lagu yang mengingatkan Linda pada sang ayah, dan cerita semacamnya.
Jailolo menjadi kota yang diobservasi Linda dengan kepekaan khas antropologisnya. Pertanyaan yang diajukannya pun dimulai dari yang sederhana dan bisa teramati oleh indra: “Mengapa lalat di Jailolo banyak sekali?” Kemudian dia mencari jawaban di Dinas Pariwisata hingga narasumber-narasumber yang membawanya pada isu tata kelola pemerintahan, sosial, ekonomi, politik, dan lingkungan Jailolo yang lebih luas. Seperti bagaimana pembangunan berjalan dengan stagnan di Jailolo, bagaimana sektor pertanian tidak berkembang selama lebih dari 12 tahun, korupsi yang terjadi di tingkat lokal, seringnya gempa dan banjir, hingga isu langkanya hewan langka
Bagian yang tak kalah menyentuh pula adalah terkait bagaimana perempuan diceritakan. Perempuan memiliki peran yang tak bisa dipandang sederhana di Jailolo. Seperti bagaimana para perempuan mengatasi kematian ibu hamil yang tinggi dan diselesaikan dengan kemitraan bidan dan dukun, karena dukun kaya pengalaman, sementara bidan memahami prosedur medis. Linda dengan detail melalui sebuah monumen di Pelabuhan Jailolo, yang memperlihatkan seorang perempuan menggendong saloi (keranjang rotan untuk berkebun) yang dia temukan sosok hidupnya pada seorang perempuan kelas pekerja yang bertubuh kurus, bermata tajam, yang dipunggungi sarat dengan muatan untuk dijual di saloi miliknya. Linda menulis dengan indah, “Dia feminis organik di medan terberat dalam perjuangan melawan patriarki yang menunggangi atau memperalat apa saja; ekonomi, politik, jenis kelamin, aturan suku, dan doktrin agama.” (hal. 16-17)
Bab 2, “Kesultanan Jailolo: Restorasi dan Konservasi” merupakan cerita yang cukup kompleks terkait bagaimana hubungan dan keterkaitan Kesultanan Jailolo, Kesultanan Ternate, Kesultanan Tidore, dan Kesultanan Bacan. Juga terkait pergantian Sultan di Jailolo dan aneksasi Tidore ke Jailolo. Dalam bab ini dikisahkan bagaimana Sultan di Jailolo berganti-ganti, dengan drama permaisuri dan perebutan kekuasaan di dalamnya. Cerita yang cukup membekas yaitu terkait Sultan Jailolo Abdullah Syah, yang sebelum diangkat sebagai Sultan, dia mengalami tirakat yang susah dijalani oleh orang-orang biasa, yaitu harus berpuasa selama 35 hari dan disetrum selama 24 jam. Suatu kesaktian yang sudah langka di zaman modern seperti sekarang.
Bab ini juga membuat berbagai referensi sejarah yang Linda elaborasikan untuk memperkaya konteks dan analisis, dari tokoh-tokoh/sejarawan seperti Bartolome Leonardo de Argensola, Leopolda Stampa, Allen F. Chew, Nils Bubandt, termasuk yang tak tertinggal yakni Alfred Russel Wallace. Ahli taksonomi asal Inggris, Wallace, dalam bukunya “The Malay Archipelago” telah menginspirasi Linda untuk pergi Halmahera. Pada bab ke-22 di dalam buku tersebut, Wallace menulis kondisi pulau yang disebut “Gilolo” atau yang kerap dilafalkan “Jailolo”. Dari amatan Wallace, Halmahera mempunyai sifat dan ciri daratan yang tua, dengan kekayaan flora dan faunanya yang khas.
Di bab ini, Linda juga menggugat penulisan sejarah yang salah kaprah oleh peneliti atau penulis yang ceroboh dalam memilih rujukan sumber, serta tidak cerdas dalam analisis logika. Linda memberi komentar pada sebuah situs internet yang salah menulis sejarah dengan kalimat yang menonjok, “Internet memang surga maupun tempat sampah.” (hal. 53) Dengan jeli di poin ini Linda seolah ingin menyuarakan, kita sebaiknya tak mengamini begitu saja berbagai ulasan sejarah yang telah tertulis, tapi juga perlu untuk memverifikasinya, menganalisisnya, dan kalau perlu menggugat kebenarannya untuk kebaikan hidup di masa depan.
Kemudian, Bab 3, “Ibu: Punahnya Sebuah Bahasa”, menjadi part yang bercerita terkait bagaimana bahasa Ibu atau yang dilafalkan “Ibo” (bahasa lokal di Kecamatan Ibu, Halmahera Barat) punah karena berbagai alasan, dari seleksi bahasa dalam lingkup keluarga, asimilasi budaya, psikologi, hingga genosida sebagaimana yang terjadi di Turki dan Palestina. Bahasa dikatakan punah ketika penuturnya tinggal satu, karena dia tak punya teman lagi yang diajaknya untuk berbincang (berkomunikasi). Linda melakukan wawancara secara langsung dengan manusia terakhir yang menguasai bahasa Ibu, seorang kakek tua yang usianya mendekati satu abad dan telah kehilangan kemampuan motoriknya, susah berbicara dan susah mengingat.
Poin penting yang ingin disampaikan Linda dalam bab ini adalah bahasa bisa membuka peradaban dan ilmu pengetahuan. Ketika seseorang mengetahui bahasa tertentu, maka ia juga memiliki kesempatan mengenal peradaban lain sebagaimana dia adanya. Punahnya bahasa juga menandakan punahnya peradaban dan struktur pengetahuan yang telah dibangun sebelumnya. Berbagai cara juga diupayakan oleh pemerintah untuk mempertahankan bahasa lokal, seperti menetapkan hari khusus penggunaan bahasa lokal hingga penerbitan regulasi. Bahkan seorang narasumber bernama Pendeta Bobi mengatakan jika bahasa adalah karunia Tuhan, “Kalau kita menolak dan menyia-nyiakan bahasa, maka kita menolak karunia Tuhan.” (hal. 76)
Selanjutnya, Bab 4, “Kisah Enam Desa Jailolo Timur”, mengulik terkait sengketa tanah di enam desa yang awalnya milik Halmahera Barat (Halbar) kemudian dianeksasi oleh Halmahera Utara (Halut). Enam desa ini mempunyai kekayaan alam yang melimpah, salah satunya tambang emas Misa Halmahera Mineral (NHM), tak heran menjadi rebutan antara Halbar dan Halut. Dampak dari sengketa ini pun tak main-main, dari lapangan pekerjaan, pendidikan, kesehatan, hingga di tingkat akar rumput menciptakan batas yang absurd, satu rumah dapurnya bisa di Halbar, dan ruang tamunya bisa di Halut. Desa bayangan juga dibuat, di mana warganya punya Kartu Keluarga (KK) dan identitas penduduk bayangan.
Namun, dampak paling-paling fatal, sengketa ini menciptakan konflik berdarah yang menyebabkan ribuan orang tewas dan ratusan ribu orang terusir paksa dari tanahnya. Inti konflik yang sebenarnya berdasar pada tanah ini pun berkembang menjadi konflik antar pemeluk agama, Islam dan Kristen. Agama digunakan oleh pihak yang berkepentingan untuk melakukan mobilisasi massa untuk kepentingannya sendiri. Pemerintah pun tak banyak membantu, malah memberikan bensin dalam api dengan penerbitan regulasi yang memicu konflik yang lebih besar.
Cerita berlanjut pada Bab 5, “Kapitan Banau, Pejuang Sejati”. Linda dalam bab ini mencoba meluruskan sejarah terkait pahlawan lokal bernama Kapitan Banau. Terdapat penulisan sejarah yang salah kaprah dan terlanjut beredar di masyarakat, yang menyatakan Kapitan Banau menyerahkan diri pada Belanda, padahal dia melakukan perlawanan secara terang-terangan pada Belanda. Bahkan, pemerintah mengurungkan pemberian gelar pahlawan nasional karena masalah ini. Dengan jeli, Linda menjelaskan bagaimana perjuangan Kapitan Banau dihukum gantung oleh pemerintah Belanda, karena menentang pajak yang membuat rakyat sengsara. Apa yang dituduhkan ke Kapitan Banau tidak benar, sejarah perlu direvisi, termasuk revisi masuknya Islam di Maluku Utara.
Pada Bab 6, “Kamis di Guaemaadu”, Linda melakukan wawancara dengan seorang mantan bodyguard bernama Kamis atau yang bernama asli Sarmin Saleh. Kamis sering bertugas mengawal tokoh politik dan pejabat negara di Jakarta, salah satunya penembakan pemimpin komplotan preman Basri Sangaji yang terjadi pada 12 Oktober 2004. Basri dan kelompoknya sendiri mempunyai rival komplotan John Kei dari Pulau Kei. Kematian Basri tersebut membuat gempar Maluku, juga hubungannya dengan peta perpolitikan nasional yang terjadi pada masa itu yang berkaitan dengan kekuasaan. Di bab ini, Kamis memberi pembaca pelajaran terkait tabiat ular-ular kekuasaan. Dia mengatakan, “Para elite atau politikus tampak bermusuhan di koran dan televisi. Tapi di luar sorotan rakyat, mereka berteman dan baik-baik saja.” (hal. 124)
Adapun Bab 7, “Pembajakan Kapal Lambelu”, berkisah tentang Kapal Lambelu yang dibajak oleh pasukan jihad dan menciptakan pembunuhan berdarah massal, di mana nyawa manusia tak berarti lagi. Para pasukan jihad ini melakukan pembunuhan seperti membunuh ayam. Sebab konflik tersebut, nahkoda kapal pun mengubah rute pelayaran. Kapal yang awalnya berlayar ke Galela, Halmahera Utara, dibelokkan untuk menjemput pengungsi yang menjadi sasaran pasukan jihad. Proses pengubahan rute ini pun tak gampang karena harus melewati aturan transportasi yang rumit hingga menelepon Menteri Perhubungan Agum Gumelar kala itu. Jumlah pengungsi ini pun tak main-main, ada 12.092 orang!
Bab 8, “Konflik Maluku Utara: Sengketa Tanah, Surat Palsu, dan Migrasi”, menjadi pamungkas dari buku dengan tebal 254 halaman ini. Hampir dari setengah dari isi buku berada di sini. Pada bab ini, Linda secara total menceritakan kesaksian para penyintas konflik berdarah yang terjadi di Maluku Utara dengan sudut pandang orang ketiga dan orang pertama. Linda dengan berbagai kesulitan yang ada, baik geografi, transportasi, rupa-rupa karakter penyintas, sangat gigih mencari narasumber. Di sini Linda hendak menyampaikan pesan, ketika berbicara terkait manusia, kita tak bisa membacanya secara hitam putih, melainkan ada spektrum warna yang membentang dan menarik untuk dipahami.
Kisah dalam bab ini membentang dari kisah yang melibatkan pasukan putih, pasukan merah, pasukan kuning, dlsb, yang menjadi simbol representasi dari berbagai kelompok seperti Islam, Kristen, kelompok adat, hingga militer. Kisah traumatik itu coba diceritakan ulang oleh berbagai narasumber seperti Subhana Waisale (Venox), seorang anak muda di bawah umur yang ketika konflik berlangsung, ikut membawa selebaran palsu yang dibuat oleh pihak berkepentingan untuk meletuskan perang. Selain itu, ada pula kesaksian personal saat konflik berdarah terjadi dari Rita Hasan, Ali Muhammad, Abdul Wahab Alting, Abdurrahman (Ongen), Kasiah, Jesaja Singa, Benny Bitjara, Astuti Nurlaila Kilwouw, Rahmat Wali (Pomad), Riauwati, Hasan Mahfud, Asghar Saleh, Soni Balatjai, Yakobus Tjanu (Pendeta Bobi), Carolus Djawa, Dahlan Malagapi, dan Ferdinan Ollo. Kisah mereka sangat menarik dicermati satu-satu untuk mengurai kebenaran sejarah yang terjadi di Maluku Utara.
Dari uraian sejarah konflik di Maluku Utara tersebut, kita bisa mengambil kesimpulan, jika kita harus kritis terhadap proses sejarah. Selain itu, sebagaimana pemikiran yang disampaikan JB Bhattacharjee yang dikutip Linda pada halalam 141, “Baru-baru ini, ‘resolusi konflik’ menjadi tema seminar yang sangat populer, namun penekanannya lebih pada ‘resolusi’ dibandingkan ‘penyebab’ konflik.”
Kelebihan buku ini selain memberikan perspektif berbeda dalam mempelajari konflik, juga bagaimana Linda dengan keahlian bahasa yang dimilikinya mengkokohkan diri sebagai salah satu jurnalis yang mengembangkan dan menghidupi jurnalisme sastra di Indonesia. Di sisi lain, bagi orang yang baru mengenal Maluku Utara, pembaca akan diajak untuk membuka peta kembali dan melihat dengan mata sendiri di mana Jailolo terletak, atau di mana Ternate, Tidore, Sofifi, Bacan, Galela, atau tempat-tempat lain terletak. Pembaca seolah diajak untuk menyusuri warisan fisik yang telah dibangun di Maluku Utara, dengan seni jurnalisme dan sastranya yang khas dan lincah.
Judul Buku: Jangan Percaya Surat Palsu | Penulis: Linda Christanty | Penerbit: Tanda Baca | Tahun Terbit: 2024 | Jumlah Halaman: x + 254 hlm | ISBN: 978-623-5869-41-4 | Peresensi: Isma Swastiningrum