Lompat ke konten

Nusakambangan Luar Dalam

Strategi pengendalian versus taktik bertahan hidup dalam penjara pada zaman Belanda

Pada bulan-bulan pertama keberadaan penjara Nusakambangan baru, koran-koran Hindia Belanda tidak begitu menaruh minat. Ini sangat berubah tatkala pejabat Departemen Kehakiman kolonial memutuskan untuk menggunakan pulau ini sebagai tempat penahanan tahanan perang Aceh.  Mereka adalah pemberontak yang ditangkap pada tahap akhir perang berkepanjangan antara tentara kolonial Belanda dan Kesultanan Aceh. Mereka merupakan beban besar bagi penguasa kolonial dan banyak di antara mereka divonis 20 tahun penjara karena melancarkan pemberontakan bersenjata terhadap pasukan kolonial Belanda. Mereka tidak bisa dipekerjakan di Aceh atau Sumatra utara karena risiko melarikan diri dan menghilang dalam masyarakat setempat, yang pasti akan menyembunyikan dan melindungi mereka. Penguasa kolonial di wilayah pinggiran lain tidak begitu punya prasarana untuk dapat mengendalikan dan mengawasi kelompok besar pemberontak dan, akibatnya, sebagian besar terpidana Aceh dijebloskan dalam pelbagai penjara di kota-kota Jawa, yang sebenarnya sudah begitu rusak dan penuh sesak. Orang-orang Aceh yang berbicara dalam bahasa mereka sendiri dan banyak yang berpengalaman perang, segera dikenal sebagai sangat tidak mau tunduk serta tidak sudi bekerja. Jalan keluar paling tepat dari kacamata penguasa kolonial adalah deportasi ke Nusakambangan, tempat mereka dibagi dalam kelompok-kelompok kecil sehingga lebih mudah dilakukan pengawasan kerja.  Pada 1906, 100 orang terpidana Aceh pertama tiba di Nusakambangan, dan walaupun Residen Banyumas segera mengeluh bahwa orang-orang Aceh ini terus menolak bekerja, jumlah mereka meningkat menjadi seribu pada 1913. Angka statistik resmi tidak lengkap, tetapi tampaknya kehadiran orang Aceh di Nusakambangan berlangsung paling sedikit sampai akhir 1920an.

Posting artikel terkait

Mengurai Sejarah Konflik Maluku Utara

Mengurai Sejarah Konflik Maluku Utara Resensi “Jangan Percaya Surat Palsu” oleh Linda Christanty Buku “Jangan Percaya Surat Palsu: Laporan Jurnalistik tentang Konflik di Maluku Utara,

Empat Setengah Jam di Punika

Bang Nezar Patria, menceritakan kembali hal-hal di balik tulisan yang menjadi salah satu yang paling sering diingat: Sejarah Mati di Kampung Kami. Ditulis delapan belas tahun lalu, saat ia masih wartawan muda. Saat itu, ia ditugaskan meliput kampung halaman pasca tsunami. Suasana dan aroma yang dirasakan di kampung halaman, melahirkan salah satu tulisan yang sangat personal dan kuat. “Kata teman-teman, artikel itu kerap menjadi salah satu contoh beberapa kelas menulis features. Saya merasa tersanjung”, katanya.

Kisah Inspiratif Penyintas

Memahami sejarah untuk menata masa depan yang lebih baik adalah sebuah tindakan sadar dan strategis yang perlu dilakukan oleh sebuah bangsa yang berkehendak maju dalam

Sign up for our email newsletter