
BAKAR (Bahas Karya) Maksud Politik Jahat bersama Om Joss Wibisono
15 November 2024; malam, adalah kali kedua kami duduk setengah melingkar di Warung Sastra. Dalam suasana mendung dan riuh beberapa orang yang menonton timnas di
“Mas Bre Redana bertemu dengan seseorang, yang disebutnya Guru. Pada (hari) Minggu, selama seminggu, bahkan berminggu-minggu. Sesuatu yang wajar. Tapi, tentu bukan relasi alih (ilmu) pengetahuan, ala bangku sekolah. Nyatanya, perjumpaan demi perjumpaan, diawetkan dengan jejak tulisan yang menghadirkan kesadaran. Adakah kesadaran itu, tersusun secara berjenjang atau simultan dalam unsur-unsur panca skanda. Mulai dari nama rupa, meningkat ke vedana, samjnana, dan seterusnya sebagaimana tertoreh dalam Sang Hyang Kamahayanikan….
Jika, dibaca dengan cara di atas ini, jejak-jejak (tulisan) yang ditorehkan bisa ditata ulang, seturut gerak (pikiran) (kita) yang membacanya.
Atau alternatif lain, pembacaan dan penataan bergerak ketika (istilah) jasad -wadag seorang yang mati, lalu dijajar dan dijabar bersama istilah lain: jasadi, jasadani, jasadaniyya. Istilah itu yang menempatkan daya-daya (kemampuan) seseorang berjenjang berkat daya-daya yang dimilikinya: mulai dari makhluk yang berdaya hidup (jasadi), makhluk yang mengingini dengan nafsu (jasadani), makhluk yang berpikir dengan daya abstraksi dan transendensi (Jasadaniyya)… Jadi mungkin akan terikat, terbebas, atau mampu mempresentasikan diri?
Mas Bre Redana menjalaninya dengan silat (tubuh yang bergerak) dan surat (imajinasi yang berkelebat).” – Romo Gregorius B Subanar, SJ
15 November 2024; malam, adalah kali kedua kami duduk setengah melingkar di Warung Sastra. Dalam suasana mendung dan riuh beberapa orang yang menonton timnas di
“Di esai saya bisa menyederhanakan sesuatu dalam 500-600 kata. Itu sulit dilakukan di fiksi krna fiksi prlu sesuatu yg lbih detail. Lewat esai juga saya
6 Oktober 2022 – Cuaca cukup bersahabat sore itu. Dan orang-orang mulai berdatangan. Mengisi absensi-mengambil booklet-memesan minum-memilih tepat duduk. Beberapa haha hihi ketika bertemu
Mengurai Sejarah Konflik Maluku Utara Resensi “Jangan Percaya Surat Palsu” oleh Linda Christanty Buku “Jangan Percaya Surat Palsu: Laporan Jurnalistik tentang Konflik di Maluku Utara,
Bang Nezar Patria, menceritakan kembali hal-hal di balik tulisan yang menjadi salah satu yang paling sering diingat: Sejarah Mati di Kampung Kami. Ditulis delapan belas tahun lalu, saat ia masih wartawan muda. Saat itu, ia ditugaskan meliput kampung halaman pasca tsunami. Suasana dan aroma yang dirasakan di kampung halaman, melahirkan salah satu tulisan yang sangat personal dan kuat. “Kata teman-teman, artikel itu kerap menjadi salah satu contoh beberapa kelas menulis features. Saya merasa tersanjung”, katanya.
Memahami sejarah untuk menata masa depan yang lebih baik adalah sebuah tindakan sadar dan strategis yang perlu dilakukan oleh sebuah bangsa yang berkehendak maju dalam
WhatsApp us